Sabtu, 06 Maret 2010
Kolsmo
Di suatu negri yang damai dan makmur yang tidak pernah dijangkau Televisi, hiduplah seorang masterchief (raja koki) bernama Akiyem atau biasa dipanggilnya Aki. Setiap dua bulan sekali pada minggu-minggu terakhir, Aki selalu menyelenggarakan santap makan tanggung antara makan siang dan makan malam yang disebut Kolsmo. Setiap menyelenggarakan Kolsmo, Aki selalu mengundang Elite de Kolsmole yaitu para penikmat Kolsmo yang beranggotakan tiga orang temannya yaitu Alay, Alo, dan Mahmud.
Hidangan sebenarnya pada Kolsmo sangatlah tidak menarik dan sederhana, hanya berupa sejumput nasi kuning disertai secuil daging ikan dan sambal yang amat sangat pedas. Namun, bagi Aki Kolsmo tidaklah sesederhana kelihatannya. Pikirannya selalu dipenuhi ide dan fantasi untuk membuat Kolsmo versinya sendiri. Ide dan fantasi Aki tentang hidangan apa yang akan disajikan pada Kolsmo sangatlah bermacam-macam, mulai dari kuliner para Eskimo di kutub utara hingga kuliner suku Aborigin di Australia. Aki bisa saja menyajikan Steak ala Amerika, Nasi Kebuli kas Arab, Spaghetti Italia, Masakan Padang, atau hanya sekedar Jagung bakar dan Ketela rebus, bukan hanya itu, bahkan ada hidangan yang lebih aneh lagi, Aki menyajikan kadal dan Tarantula goreng. Namun, seingat teman-temannya, hanya satu kali Aki menyajikan hidangan Kolsmo yang sesungguhnya.
Ide dan fantasi Aki tidak hanya sekedar soal makanan yang akan dihidangkan, tetapi juga pada penataan meja seperti penataan mangkuk, piring, sendok-garpu dan riasan meja dan juga alat-alat makan yang harus disediakan. Dalam hal ini, Aki bisa saja menyajikan alat-alat makan dan riasan meja dari seluruh penjuru dunia dan penjuru waktu seperti mangkuk cina pada zaman Dinasti Ming, sendok besi abad 12, tempat lilin kekaisaran inggris, garpu meteor atau bahkan yang harganya sangat mahal seperti piring dengan taburan berlian 76 carat. Walaupun kebanyakan alat-alat makan serta riasan-riasan meja merupakan barang antik dan relatif mahal, tetapi teman-temannya tidak pernah berniat untuk mengambilnya.
Bagi teman-teman Aki, Kolsmo merupakan sebuah berkah yang tak ternilai harganya. Biasanya sehari sebelum Kolsmo, teman-teman Aki berpuasa selama 36 jam penuh agar dapat merasakan nikmatnya makan Kolsmo. Saat hari makan Kolsmo, mereka kemudian berangkat menuju rumah Aki pada pukul 11.00 WIB. Sesampainya dirumah Aki pada pukul 12.00 WIB, mereka langsung disodorkan teh manis dan kue-kue sebelum Kolsmo, kemudian pada pukul 14.00 WIB barulah Kolsmo dimulai, dan berakhir pada pukul 17.30 WIB. Lalu setelah Kolsmo selesai, mereka kembali disodorkan teh dan kue-kue pasca Kolsmo, kemudian makan malam pasca Kolsmo pada pukul 21.00 WIB, dan barulah mereka pulang kerumah masing masing pada tengah malam atau 00.00 WIB.
Pada saat makan Kolsmo, Aki biasanya bercerita tentang bagaimana ia membuat makanan yang ia hidangkan pada saat Kolsmo dan bagaimana ia menata meja makan dan mengatur letak alat-alat makan layaknya seorang dewa masak. Kemudian ia meminta kritik dan saran kepada teman-temannya tentang masakannya dan tataboganya. Namun, tidak semua kritik dan saran dari teman-temannya selalu ia terima, seperti hari dimana ia menyajikan Kadal pasir rebus sebagai menu utama. Teman-temannya mengkritik begini :
Aki ”Bagaimana masakanku?”
Alay ”Makanan apa ini? Kok baunya seperti ikan busuk?”
Aki ”Ini adalah kadal pasir asli sahara yang direbus setengah matang.”
Alay ”Ki, sebaiknya kau singkirkan makanan ini, kelihatannya berbahaya”
Aki ”Tidak bisa, aku sudah memesan kadal ini langsung dari gurun sahara, lagipula kalian belum mencobanya kan?”
Mahmud ”Hey, kau itu sayang harta atau sayang teman? Cepatlah singkirkan!”
Alo ”Sudahlah, benar kata Alay dan Mahmud, sebaiknya kita singkirkan saja daripada terkena penyakit yang macam-macam.”
Aki ”Tidak bisa! Kalian harus coba dulu, aku susah-susah memesan langsung dari sahara hanya untuk ini!?”
Untuk meredam amarahnya, biasanya Aki selalu berlagak seperti badut, bergoyang kesana kemari dengan alunan musik keroncong kemudian ia memainkan sebuah orgen dan menekan tuts-tutsnya asal-asalan dan menghasilkan irama yang asal-asalan pula. Teman-temannya membiarkan Aki menjadi gila seperti ini karena mereka tahu bahwasannya hanya dengan cara ini marahnya Aki bisa diredam.
Namun, dibalik tingkah gilanya itu, teman-temannya tahu bahwa dialah yang paling murah hati dari semuanya, karena Aki selalu menghidangkan makanan kepada teman-temannya tanpa menuntut balas jasa sedikitpun. Aki juga selalu senang dan gembira.
Kegembiraan dan kesenangan Aki berakhirlah sudah ketika Televisi mulai masuk ke negrinya, di televisi ia selalu menonton berita yang menampilkan anak-anak yang kekurangan gizi akibat kekurangan makan. Ia selalu menangis ketika melihat anak-anak kelaparan yang berada di Televisi itu, ia berpikir bahwasannya dunia ini sudah tidak kekurangan makan, tetapi kenyataannya adalah yang sebaliknya. Sejak saat itulah Aki semakin jarang mengadakan Kolsmo, dan ia semakin tampak kurus kering setiap harinya.
Jumat, 05 Maret 2010
Seorang Fisikawan
Pukul 20.00 WIB di hari senin sepulang dari kerja sebagai tukang karcis di Musium Nasional, aku menunggu kereta jurusan Wonogiri-Stasiun Kota di stasiun gambir. Kereta yang akan berangkat menuju stasiun kota akan tiba di stasiun gambir pada pukul 21.30 WIB, waktu yang cukup lama untuk menunggu sebuah kereta datang.
Selagi menunggu kereta yang akan datang, aku biasanya membawa buku untuk dibaca. Yang aku bawa biasanya adalah buku Relativitas, buku karya seorang ilmuwan fisika yang sangat brilian di masanya, Albert Einstein. Aku sangat menyukai fisika, dan bahkan sejak kecil aku ingin menjadi ilmuwan fisika, namun sayang cita-citaku harus dipendam akibat kekurangan biaya untuk melanjutkan sekolah.
Saat aku sedang membaca, aku disapa sesaorang yang sedang duduk disebelahku. Aku kaget waktu menoleh kerahanya, dia adalah Professor Stephen Hawking, seorang ahli fisikawan yang sangat terkenal, pencetus teori radiasi Hawking. Beliau adalah seorang kulit putih yang berasal dari Inggris. Jika dibandingkan dengan orang inggris lainnya, beliau tidak terlalu tinggi. Umur beliau berkisar antara 40 tahunan, mukanya sudah mulai kelihatan tua dan rambutnya yang berwarna hitam sudah mulai beruban.
Penampilan beliau pada saat aku bertemu dengannya tidak berbeda jauh dengan yang aku lihat di televisi. Beliau menggunakan kacamata tebal, jaket dan celana yang berwarna biru laut serta sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat. Karena beliau mengalami kelumpuhan, maka beliau menggunakan kursi roda dan seperangkat komputer untuk berkomunikasi, maka dari itu gaya bicara dan bahasa beliau tidak pernah diketahui siapapun. Beliau sangatlah hebat, walaupun mengalami cacat, beliau dapat meraih cita-citanya sebagai fisikawan.
Mengetahui bahwa orang yang menyapaku adalah Professor Stephen Hawking, aku langsung berbincang-bincang dengan beliau berbagai hal tentang fisika, mulai dari gravitasi Newton hingga Relativitas, tentunya dalam bahasa inggris. Tak terasa waktupun berlalu, kereta menuju stasiun kota sudah tiba, aku tak ingin cepat-cepat melewatkan momen-momen seperti ini. Namun mau apa lagi, aku harus baranjak pergi dan mengatakan ”Good bye Mr. Hawking!”